JurnalHajiUmroh

Media Pembelajaran Haji & Umrah Indonesia

Haji

Istitoah dan Kemabruran Haji

 masyarakat Indonesia mendambakan adanya suatu bentuk kesalehan sosial, mengingat jumlah orang miskin (dhuafa) demikan banyak di negeri ini, sehingga guna mengatasi kebutuhan mereka perlu disegerakan.

Orang lapar dan haus, termasuk kebutuhan hak mendapatkan pendidikan layak dan kesehatan, tak dapat ditunda.

Bentuk kemiskinan akibat kekurangan sandang dan pangan sangat penting untuk segera dientaskan. Sementara realitas ajaran haji, terkandung di dalamnya mewujudkan tingkat kemabruran dengan bentuk kesalehan sosial.

Jika saja para tamu Allah yang baru saja menunaikan ibadah rukun kelima tersebut dapat mengimplementasikan makna dari ritual haji, kesalehan sosial bisa hadir di tengah masyarakat Indonesia. Kesalehan dalam prespektif sosiologis mengandung makna lebih memperhatikan nasib orang miskin, tanpa membedakan dari golongan mana dia berasal.

Komunitas haji seperti Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dan majelis taklim, kelompok pengajian yang bertebaran di berbagai tempat, dirasakan memegang peran penting untuk mendorong rasa empati kepada kaum dhuafa.

Lantas, apakah hal tersebut sudah dilakukan?

Realitas yang ada seperti antara harapan dan kenyataan yang semakin jauh. Hal ini tentu harus dikoreksi, mengapa bisa terjadi. Padahal setiap tahun Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, tercatat sebagai pengirim jemaah haji terbesar di atas 211 ribu orang. Jumlah sebanyak itu berdasarkan data Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat), belum termasuk dari jemaah ilegal yang dikenal sebagai haji nonkuota.

Pergi haji merupakan hak asasi bagi seorang Muslim. Karena menyangkut hak dasar itu pula Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) Kementerian Agama, melalui UU No.13 tahun 2008 mengatur penyelenggaraan ibadah haji.

Dengan regulasi yang ada itu, berbagai hal yang menyangkut persiapan, penyelenggaraan dan prosesi haji diatur dengan mengintegrasikan peraturan yang berlaku di tanah suci, yaitu mengacu kepada pedoman haji taklimatul hajj Arab Saudi sebagai tuan rumah.

Penyelenggaraan haji melibatkan pemangku kepentingan: Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, imigrasi, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Keuangan. Sudah barang tentu ulama, organisasi kemasyarakatan Islam (ormas) secara tidak langsung ikut bersinggungan dengan penyelenggaraan haji.

Karena demikian besarnya pemangku yang terlibat, mestinya penyelenggaraan haji yang sudah menjadi bagian dari tugas nasional itu lebih banyak lagi menekankan pada aspek sosialisasi tentang haji.

Gagalnya calon haji ke tanah suci melalui haji khusus, yang diageni oleh biro perjalanan, sayogiaya juga menjadi tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama.

Tangisan calon haji yang ditayangkan melalui media massa beberapa bulan lalu harus menjadi perhatian. Kenapa dan mengapa bisa terjadi, perlu dicari akar permasalahannya sehingga penanganan dan penyelenggaraan ibadah haji ke depan bisa lebih profesional lagi.

Aspek profit

Karena itu, porsi atau jumlah jemaah haji khusus yang diberangkatkan biro perjalanan perlu ditinjau ulang. Apakah harus dikurangi atau dilakukan moratorium izin mendirikan biro penyelenggaraan haji khusus. Sementara jumlah haji regular idealnya ditambah sesuai kuota yang ada.

Dengan cara itu, pemerintah tak terus menerus “dipusingkan” dengan haji khusus atau haji nonkuota. Terlebih lagi belakangan ini untuk mendapatkan visa haji dari kedutaan besar Arab Saudi terkadang tak mengindahkan kesepakatan.

Selama ini visa haji keluar atas permintaan pemerintah, Kementerian Agama. Ternyata, visa haji pun bisa keluar atas permintaan para oknum. Memang, membenahi haji nonkuota tak semudah membalik sebelah tangan. Perlu penyatuan persepsi di antara para pemangku kepentingan.

Yang lebih penting lagi, ke depan, pemerintah diharapkan bisa mengoptimalkan sosialisasi tentang perhajian. Selama ini sosialisasi dikesankan bagi kalangan level atas, kalangan orang perkotaan, karena lebih banyak menggunakan media massa. Sementara orang desa tak punya akses untuk itu.

Status sosial

Rendahnya kesalehan sosial pascahaji, pun tak terlepas dari pemahaman haji hanya untuk mendapatkan sebagai status sosial. Pergi haji sesungguhnya harus memiliki ilmu yang cukup tentang haji, termasuk dari rangkaian keseluruhan ritual haji di tanah haram. Bukan hanya sebatas manasik saja, tetapi juga cara mendapatkan dana untuk pergi haji.

Dewasa ini, banyak orang pergi haji menggunakan dana Multi Level Marketing (MLM), dana arisan, ataupun dana talangan dari bank. Apa pun bentuk perolehan dana seperti dengan cara berutang (ngutang), jelas salah dalam memaknai konsep istitoah dalam berhaji. Yaitu, cukup dana bagi yang akan berangkat haji, cukup uang bagi keluarga yang ditinggalkan, sehat dan tak ada halangan.

Pemahaman istitoah (berkemampuan) itu, kini pemahamannya diplintir. Sehingga menjadi istitoah semu.

Di kota Pekalongan, misalnya, yang dikenal sebagai kota “santri”, belakangan ini warganya lebih cenderung memilih menggunakan dana talangan untuk pergi haji. Sekitar 50 persen lebih dan diperkirakan calon haji di antaranya sudah mendapat porsi dan sudah berangkat menunaikan haji.

Program haji dengan dana talangan yang digulirkan, seperti melalui Bank Mandiri Syariah, sekitar tiga tahun lalu mendapat apresiasi masyarakat setempat.

Tapi, didapati pula calon haji mengundurkan diri lantaran tak sanggup membayar. Biasanya, alasan yang mencuat, karena uang jasa bank terlalu mahal. Ketika mereka mengundurkan diri, petugas bank terlihat sibuk mendatangi kantor Kemenag setempat untuk mencabut SPPH (Surat Pendaftaran Pergi Haji).

Haji menggunakan dana talangan tak dapat dideteksi pihak Kemenag. Pasalnya, utang-piutang antara nasabah dan pihak bank diikat dalam satu perjanjian. Tatkala ada masalah, barulah mencuat ke permukaan berupa kesedihan. Demikian pula, haji menggunakan dana arisan dan MLM. Lebih besar keburukannya ketimbang hasil yang ingin didapat.

Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag mengatakan, realitas yang ada, setelah pihak bank meluncurkan dana talangan haji tak berdampak besar bagi kesejahteraan masyarakat. Malah kesalehan sosial yang diharapkan pascahaji dapat diwujudkan, nyatanya jauh dari harapan.

Semua itu, kata Sekretaris Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Pekalongan, H. Zainuddin, bisa terjadi lantaran cara perolehan uang untuk berhajinya yang masih dipertanyakan “kehalalannya”. Istitoahnya masih dirasakan semu. Apalagi pergi haji tanpa ilmu yang memadai.

Jadi, semakin tepat bahwa istitoah (semu) dalam berhaji tak akan membawa hikmah bagi orang banyak. Apalagi melahirkan kesalehan sosial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *