Ibadah Haji Memerlukan Kondisi Fisik yang Prima
Ibadah haji itu 80 persen memanfaatkan kekuatan fisik sudah sering kita dengar. Tapi ibadah haji sama dengan jalan kaki, mungkin perbandingannya terlalu ekstrem.
Walaupun agak ekstrem, korelasinya dekat. Mengapa? Karena faktanya menjalankan ibadah haji itu memang memerlukan kondisi fisik yang prima akibat tuntutan banyaknya berjalan kaki. Jadi, dalam manasik, telah benar para pembimbing ibadah selalu menekankan pentingnya kondisi fisik terpelihara dalam menjalankan seluruh rangkaian ritual ibadah haji.
Tahap pertama setibanya di Mekkah, jemaah haji umumnya akan melaksanakan umroh. Pelaksanaan umroh meliputi tawaf dan sa’i. Tawaf berarti berjalan mengitari Ka’bah tujuh kali putaran. Jaraknya tergantung ramai tidaknya jemaah yang melakukan tawaf. Lebih dekat jarak jemaah melaksanakan tawaf dengan dinding Ka’bah maka otomatis jaraknya lebih pendek.
Tetapi karena pada musim haji, sekitar tiga juta manusia berada di Mekkah secara bersamaan dengan maksud yang sama, maka jarang sekali jemaah Indonesia – yang badannya secara fisik lebih kecil dibanding orang Timur Tengah umumnya – dapat dekat sekali dengan dinding Ka’bah karena akan tergencet fisik jemaah bangsa Arab atau Asia Selatan Pakistan dan India.
Usai tawaf, jemaah pindah tempat ke bagian dalam Masjidil Haram melaksanakan sa’i. Sa’i artinya juga berjalan kaki diantara dua bukit Safa dan Marwah yang jaraknya sekitar kurang lebih 800 meter. Tujuh kali bolak-balik berjalan kaki berarti perjalanan telah mencapai tujuh kali 700 meter = 4,9 km.
Memang di sepanjang rute sa’i tersedia air zam-zam yang dapat menjadi pelepas dahaga tatkala haus. Juga rute tersebut dipasang banyak kipas angin berukuran relatif besar agar jamaah pelaksana sa’i (tempat berlari-lari kecil) tidak mudah kelelahan. Namun, nyatanya tidak jarang juga para jemaah manusia lanjut usia (manula) yang beristirahat di pinggir jalur sa’i atau orang tua yang didorong dengan kursi roda oleh sejumlah anak muda.
Tiada jemputan
Tahun ini haji yang jarak pondokannya dua kilometer (km) atau kurang dari dua km dari Masjidil Haram, tidak disediakan bus jemputan sehari-hari, jadi harus jalan kaki dari pondokan ke Mesjidil Haram pulang pergi.
Selanjutnya, puncak jalan kaki yang cukup melelahkan adalah ketika melempar jumrah di Jamarat. Maqtab jamaah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, terdapat di sekitar tiga sampai empat km dari Jamarat wilayah Mina. Kalau yang tinggal di Mina jadid justru jaraknya bisa mencapai tujuh kilometer.
Sebagian jalur jalan kaki memang melintasi terowongan batu yang dipasang kipas angin sangat besar untuk menyirkulasi udara di dalam terowongan. Tetapi di luar terowongan langsung berhadapan dengan udara luar yang bebas. Guna menyiasati kelelahatan para jemaah haji Indonesia disarankan agar melempar jumrah pada malam atau sore hari sehingga terhindar dari terik matahari.
Jemaah Indonesia yang meninggal dunia sampai Jumat (2/11) telah mencapai 256 orang, yang terbanyak terjadi saat-saat proses di Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armina) setelah tanggal 25 Oktober 2012.
Berjalan kali dari pondokan ke Jamarat sejauh kira-kira tiga sampai empat km sekali jalan sehingga mencapai enam sampai delapan km setiap hari pulang pergi selama tiga hari, dan diselingi pula pelaksanaan tawaf dan sa’i seusai wukuf di Arafah, menjadikan kondisi fisik jemaah Indonesia yang 52 persen dinyatakan berisiko tinggi relatif menurun.
Ditambah pula kondisi maqtab-maqtab di Mina tergolong relatif padat dan suasana agak pengab dengan banyaknya sampah tertunda dibuang dari jalanan, membuat kondisi kesehatan para jemaah ‘drop’, kata Kepala Seksi Kesehatan Daker Mekkah dr Ilyas Ambo Tuwo ketika ditanya alasan mengapa pada periode Armina dan pasca-Armina angka jemaah mininggal relatif cepat bertambah.
Berjalan kaki mungkin telah menjadi kebiasaan para jemaah dari pedesaan dan perkampungan di Indonesia, tetapi berjalan kaki dalam suasana udara panas dan tergesa-gesa berebutan dan suasana agak pengab itu yang sebagian jemaah tidak siap, kata Ilyas.